Senin, Januari 20


Jakarta

Masana Izawa, ahli kotoran Jepang, mengembalikan kotoran manusia ke alam untuk mendukung ekosistem. Ia mengajak orang hidup lebih berkelanjutan.

Ia akan menuju ke dalam hutan di dekat rumahnya untuk BAB. Ia hanya membutuhkan lubang yang digali, satu-dua helai daun untuk menyeka, sebotol air untuk mencuci, dan ranting untuk menandai tempat BAB tersebut.

Alasan Izawa melakukan hal ini adalah untuk mengembalikan apa yang sudah diberi oleh alam selama hidupnya.


“Kita bertahan hidup dengan memakan makhluk hidup lain. Tapi Anda bisa mengembalikan kotoran ke alam sehingga organisme di dalam tanah dapat menguraikannya,” katanya dikutip dari The New Zealand Herald.

“Ini berarti Anda mengembalikan kehidupan. Tindakan apa yang lebih agung?” imbuhnya.

Apa yang dilakukan Izawa bukan satu atau dua tahun, melainkan 50 tahun. Dia sudah menyadari bahwa kotoran manusia selayaknya dikembalikan ke alam sejak berusia 20-an.

Gaya hidup ini membuat dirinya dijuluki ‘ahli kotoran’ atau dalam bahasa Jepang yakni “Fundo-shi”. Selain kebiasaan ini, ia juga dikenal sebagai seseorang yang menerbitkan buku, menyampaikan ceramah, dan tampil dalam film dokumenter.

Menurut Izawa, toilet, tisu toilet, dan fasilitas air limbah memerlukan air, energi, dan bahan kimia dalam jumlah besar. Ini membuatnya sejak dulu berpikir bahwa cara kita membuang kotoran, belum menguntungkan alam.

“Membiarkan tanah melakukan tugasnya jauh lebih baik bagi lingkungan,” kata pria berusia 74 tahun itu.

“Aktivitas jamur menurunkan dan mengubah benda-benda seperti bangkai hewan, kotoran, dan daun-daun berguguran menjadi tanah yang bergizi, tempat tumbuhnya hutan,” tambahnya.

Dia percaya bahwa lebih banyak orang harus mengikuti jejaknya. Sebab, apa yang dia lakukan tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap pihak berwenang.

Kepercayaannya ternyata membuahkan hasil. Orang-orang berduyun-duyun ke “Poopland” miliknya dan “Fundo-an” (rumah tanah kotoran) yang terbuat dari kayu berusia berabad-abad di Sakuragawa utara Tokyo. Pengunjung yang datang, terkadang bisa mencapai lusinan dalam sebulan.

Di sana, di hutan seluas lapangan sepak bola, pengunjung mendapatkan tips untuk praktik terbaik di ruang terbuka. Termasuk praktik “Noguso” yakni proses BAB dengan menggali, menyeka dengan bahan dari alam, dan menandai dengan ranting.

Ranting tersebut akan memastikan dia tidak menggunakan tempat yang sama dua kali. Tujuannya, agar dapat kembali untuk menyimpan catatan akurat tentang proses dekomposisi.

Izawa yakin perubahan iklim dan meningkatnya minat terhadap cara hidup yang lebih berkelanjutan mungkin akan menarik lebih banyak perhatian, terutama dari kalangan muda.

Artikel ini telah tayang di detikEdu

(msl/msl)

Membagikan
Exit mobile version