Jakarta –
Kecelakaan maut yang melibatkan truk masih sering terjadi di Indonesia. Bahkan, pengamat transportasi menilai angkutan barang itu menjadi ‘pencabut nyawa’ di jalan.
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno mengatakan, ada beberapa penyebab mengapa truk masih menjadi ‘pembunuh’ di jalan, Mulai dari kendaraan yang tak laik jalan, masih maraknya angkutan barang berdimensi dan bermuatan lebih (overdimension overload/ODOL), hingga sopir truk yang tidak kompeten.
“Rekomendasi dari Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan sudah dilayangkan ke Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi. Kita tunggu kebijakan selanjutnya dari Menteri Perhubungan, supaya angka kecelakaan menurun. Juga selalu dinanti ketegasan Presiden Prabowo Subianto mengatasi angkutan barang berdimensi dan bermuatan lebih (overdimension overload/ODOL). Jika masih diabaikan, truk akan tetap menjadi pencabut nyawa di jalan. Bermobilitas di negeri yang tidak berkeselamatan akan menghambat cita-cita pemerintah mewujudkan menuju Indonesia Emas 2045,” kata Djoko dalam keterangan tertulis yang diterima detikOto.
Untuk itu, menurut Djoko, beberapa langkah ini perlu diambil agar kendaraan angkutan barang ini tidak lagi menjadi pembunuh di jalan raya.
Berantas Truk ODOL
Menurut Djoko, armada truk menduduki peringkat kedua penyebab kecelakaan lalu lintas meski jumlah armada truk lebih sedikit ketimbang kendaraan roda empat. Pengawasan terhadap operasional angkutan barang dinilai belum maksimal.
Menurut Djoko, sejak 2017 Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan telah mulai membenahi persoalan ODOL. Namun, upaya itu gagal karena penolakan Kementerian Perindustrian dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) serta tidak didukung Kementerian Perdagangan lantaran kekhawatiran pemerinah akan naiknya setelah ditakut-takuti oleh pihak penolak.
“Namun tidak ada upaya dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Apindo untuk mengusulkan program membenahi masalah ODOL, selain menolak dan menakut-nakuti dengan isu inflasi,” katanya.
“Saatnya pemerintah tidak bertindak secara reaktif saja, ketika ada masalah teriak-teriak, tetapi setelah lewat masalahnya lupa, dan nanti teriak lagi saat muncul masalah lagi. Saatnya pemerintah bertindak secara cerdas dan terencana. Kalau sudah bertindak cerdas dan terencana tapi kecelakaan lalu lintas masih tetap terjadi, baru kita bisa bilang itu nasib. Tetapi kalau kondisi pembiaran itu terjadi terus-menerus, tidak bisa dikatakan itu nasib dan tidak bisa pula kesalahannya dibebankan pada masyarakat. Pemerintah harus bertanggung jawab,” ujar Djoko.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT kerap menemukan adanya operasional truk pada proyek pemerintah yang melebihi dimensi dan kapasitas. Kondisi ini ironis mengingat pemerintah gencar menertibkan kendaraan kelebihan muatan yang kerap menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas hingga kerusakan jalan.
“Masih terdapat sejumlah proyek negara yang kedapatan menggunakan truk yang melebihi dimensi dan kapasitas (overdimension overload/ODOL),” sebut Djoko.
Kompetensi Sopir Truk
Menurut Djoko, faktor penyebab kecelakaan bus dan truk yang terkait dengan kecakapan pengemudi ternyata tidak tertangkap pada mekanisme pengambilan SIM B1/B2, serta mekanisme pelatihan defensive driving training (DDT) yang selama ini dijadikan persyaratan wajib oleh Kementerian Perhubungan untuk memberi izin.
“Sebagai pengemudi tidak hanya cukup berbekal keahlian dalam berkendara, namun juga mendalami teori dan praktik dengan menitikberatkan pada keselamatan, maka akan menjadikan pengemudi lebih percaya diri. Waktu kerja, waktu istirahat, waktu libur, dan tempat istirahat pengemudi bus dan truk di Indonesia sangat buruk. Tidak ada regulasi yang melindungi mereka, sehingga performance mereka berisiko tinggi terhadap kelelahan dan bisa berujung pada microsleep,” ungkap Djoko.
Menurut KNKT, sebanyak 84 persen penyebab kecelakaan terjadi akibat kegagalan sistem pengereman dan kelelahan pengemudi. Kegagalan sistem pengereman dapat disebabkan oleh kondisi pengemudi yang tidak siap dan tidak menguasai kendaraan, ataupun kondisi dari kendaraan itu sendiri.
“Adapun penyebab kelelahan pengemudi adalah kurangnya waktu untuk beristirahat,” kata Djoko.
Pengemudi bukan hanya harus memiliki kemampuan teknik mengendarai yang baik dan pengetahuan berlalu lintas yang baik. Pengemudi juga harus memiliki kepribadian dan kompetensi yang baik, meliputi skill, knowledge, dan attitude, sehingga dapat melayani dan menghargai penumpang dengan mengutamakan keselamatan dan keamanan.
Selama tahun 2024, pemetaan di lapangan dan diskusi dengan beberapa pihak berkepentingan sudah dilakukan Pusat Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan. Hasil pengamatan dan wawancara dengan pengemudi angkutan umum mendapatkan usia pengemudi rata-rata 40-55 tahun. Surat izin mengemudi (SIM) yang dimiliki pengemudi belum sesuai dengan jenis kendaraan yang dikemudikannya, pengemudi memperoleh SIM tanpa melalui Pendidikan dan Pelatihan/Diklat (tanpa Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP).
“Kurang sosialisasi bahwa pengemudi wajib kompetensi pengemudi melalui diklat dan uji kompetensi, sehingga tidak diperoleh pengemudi yang telah mengikuti uji kompetensi. Kurang pahamnya pengemudi terhadap pentingnya kompetensi pengemudi. Penghasilan pengemudi sebulan rata-rata Rp 1 juta sampai dengan Rp 4 juta, masih di bawah upah minimal di daerah,” ungkap Djoko.
Selanjutnya, perusahaan angkutan umum kesulitan untuk mendapatkan pengemudi yang kompeten apalagi tersertifikasi, sehingga saat ini jumlah pengemudi angkutan umum mengalami penurunan dibanding dengan jumlah kendaraan yang beroperasi. Rekrutmen pengemudi belum didasarkan pada kompetensi pengemudi.
Memastikan Truk Siap Beroperasi
Ada enam langkah untuk memastikan kendaraan truk siap dioperasikan. Pertama, menyiapkan kendaraan dengan benar. Kendaraan di parkir di tempat yang sesuai dan memastikan roda terganjal. Menurunkan rem tangan dan memutar kunci kontak ke posisi “on”. Memastikan semua fungsi kendaraan berjalan normal (tidak ada lampu indikator yang menyala), tabung angin terisi penuh.
Kedua, mengecek kebocoran pneumatic. Menginjak pedal rem selama kurang lebih dua menit. Tekanan angin tidak boleh turun lebih dari 0,5 bar. Jika tekanan angin lebih 0,5 bar, kampas rem mungkin bermasalah, maka segera menghubungi mekanik untuk pemeriksaan. Jika tekanan angin terus menurn, kemungkinan ada kebocoran. Maka matikan mesin, periksa desain di sekitar kendaraan, dan laporkan ke mekanik jika ditemukan kebocoran.
Ketiga, memeriksa kondisi tabung angin. Menarik tuas atau cincin tabung angin. Jika keluar air atau oli, maka dihentikan operasi dan minta mekanik memeriksa filter air dryer atau kompresor.
Keempat, memastikan rem berfungsi optimal. Menguji exhaust brake (skep/brake/rem angin) dan rem tangan untuk memastikan keudanya bekerja dengan baik.
Kelima, mengecek sistem hidrolik. Memastkan tidak ada kebocoran minyak rem. Memeriksa persediaan minyak rem agar dalam kondisi cukup. K
Keenam, pemeriksa ban. Memastikan tekanan angin dan kondisi fisik ban dalam keadaan baik.
Kendalikan Kendaraan di Jalan turunan
Sementara jika kendaraan melewati jalan menurun, KNKT telah memberikan prosedur. Pertama sebelum memasuki jalan menurun, pindahkan posisi transmisi ke gigi rendah. Kedua, ketika jalan mulai menurun aktifkan exhaust brake dan pertahankan exhaust brake tetap aktif (jangan matikan dan hidupkan berulang-ulang). Ketiga, jika jarum RPM masih naik dan menuju ke zona merah (zona bahaya), injak pedal rem secukupnya untuk mengembalikan posisi jarum RPM ke zona putih (torsi maksimal) dan lepaskan kembali pedal rem jika jarum RPM sudah berada di zona putih (aman).
Keempat, hindari penggunaan rem pedal secara berulang-ulang atau pengereman panjang karena hal ini dapat menyebabkan rem tidak berfungsi (rem blong). Kelima, maksimalkan bidang pandang di luar kendaraan, sehingga mampu mengantisipasi keadaan lalu lintas di depan dan memiliki cukup waktu.
(rgr/din)