Kopenhagen –
Semakin banyak wisatawan yang memilih Kopenhagen sebagai tujuan liburan. Akibatnya Ibu Kota Denmark itu mulai menunjukkan dampak negatif akibat pariwisata yang berlebihan.
“Pariwisata berlebihan bukanlah kategori yang objektif, melainkan lebih kepada pengalaman individu yang merasakannya secara berlebihan, itu bersifat subjektif,” jelas, Profesor Ilmu Sosial dan Bisnis di Universitas Roskilde, Lars Fuglsang, dikutip dari Express, Sabtu (14/12/2024).
“Risiko dari pariwisata berlebihan termasuk kesulitan mendapatkan apartemen karena dominasi pasar AirBnB dan kenaikan harga properti. Wisatawan juga memanfaatkan ruang publik, menyebabkan peningkatan kebisingan dan sampah di kota, yang dapat menimbulkan berbagai masalah. Saya rasa kesadaran tentang hal ini semakin meningkat di Copenhagen,” kata dia lagi.
Fuglsang juga menyoroti masalah seperti wisatawan yang menyewa sepeda tanpa memahami aturan lalu lintas, serta kebisingan yang ditimbulkan akibat konsumsi alkohol yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk setempat.
“Beberapa orang merasa jumlah wisatawan sudah terlalu banyak, bahkan di Kopenhagen dan ada kebutuhan untuk mengatur jumlah mereka. Ini bukan berarti menentang wisatawan, tetapi lebih kepada keinginan untuk mengelolanya dengan lebih baik,” kata Fuslsang.
Pariwisata di Denmark telah mengalami lonjakan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2023, Denmark menerima 32,5 juta pengunjung, meningkat 12% dibandingkan tahun 2019.
Bahkan, pada enam bulan pertama tahun 2024 saja, negara tersebut sudah menerima lebih dari 25 juta wisatawan, mencatatkan rekor baru.
Destinasi paling populer pada tahun 2023 menurut Visit Denmark adalah Kopenhagen, diikuti oleh Vesterhavet, wilayah pantai barat yang mencakup Varde dan Ringkobing-Skjern, serta pantai barat laut yang mencakup Hjorring, Holstebro, Jammerbugt, Lemvig, dan Thisted.
Pariwisata di Kopenhagen menjadi isu yang kontroversial, di mana beberapa bisnis menyambut pengunjung dan menginvestasikan banyak sumber daya dalam industri ini. Sementara yang lain, terutama yang berada di pusat kota menentangnya.
“Selama musim panas, ada situasi seperti festival, di mana pendapat tentang manfaat pariwisata bagi penduduk beragam. Misalnya, Festival Musik i Lejet di Tisvildeleje. Sebagian penduduk lama skeptis, tetapi yang lainnya ingin menghidupkan kembali komunitas mereka, sehingga situasinya terbagi,” sebut Fuglsang.
Festival Musik i Lejet, pada tahun 2019 hanya menarik sekitar 700 pengunjung dan kini telah mencapai sekitar 10.000 pengunjung dalam empat hari pada bulan Juli. Festival tersebut diselenggarakan di sebuah kota kecil di Kotamadya Gribskov di pesisir barat laut Zealand, yang hanya memiliki 1.400 penduduk.
Beberapa warga setempat mengeluhkan dampak negatif terhadap kehidupan mereka dan bisnis lokal selama musim festival.
Peningkatan jumlah wisatawan di Denmark terkait dengan tren ‘coolcations”‘, di mana wisatawan mencari destinasi dengan iklim lebih sejuk sebagai alternatif liburan akibat pemanasan global.
Pada musim panas ini, Kopenhagen mengumumkan program untuk memberi penghargaan kepada pengunjung dan penduduk yang berperilaku ramah lingkungan seperti memungut sampah atau menggunakan transportasi umum, dengan memberikan makanan, kopi, atau kegiatan budaya gratis.
Program tersebut bertujuan untuk mempromosikan pariwisata yang ramah lingkungan dan mengurangi ketegangan antara wisatawan dan penduduk setempat, meskipun hanya berlaku hingga 11 Agustus.
Namun pada November 2024, Pemerintah Denmark menolak usulan Kopenhagen untuk mengenakan pajak turis. Dengan alasan bahwa pajak tersebut akan memberatkan pengunjung domestik secara tidak adil dan bisa merugikan popularitas Denmark sebagai destinasi wisata.
(upd/wsw)