Jumat, Februari 28


Jogja

Masyarakat suku Jawa punya beragam tradisi untuk menyambut bulan Puasa. Setidaknya, ada 7 tradisi yang lazim digelar sebelum bulan Ramadan. Apa saja?

Suku Jawa terkenal kaya akan budaya dan memiliki banyak tradisi untuk menyambut datangnya bulan puasa alias bulan Ramadan.

Sejarah Jawa yang makin berwarna dengan hadirnya berbagai macam agama punya kontribusi penting dalam membentuk tradisi-tradisi.


Terutama setelah datangnya agama Islam, terjadi peleburan budaya sehingga menghasilkan tradisi baru, misalnya untuk menyambut bulan puasa Ramadan.

Berikut 7 Tradisi Masyarakat Jawa dalam Menyambut Ramadan:


1. Padusan

Tradisi pertama adalah padusan. Dikutip dari situs resmi Museum Sonobudoyo, padusan berasal dari kata ‘adus’ dalam bahasa Jawa yang berarti mandi. Kebiasaan masyarakat Jogja dan Jawa Tengah ini berakar dari tradisi kuno di Kerajaan Majapahit.

Kala itu, para ksatria, brahmana, hingga empu rutin melakukan ritual penyucian diri. Nah, ketika Islam datang, terjadilah akulturasi sehingga padusan muncul.

Pada hakikatnya, padusan adalah sarana untuk introspeksi diri atas kesalahan pada masa lalu. Di samping itu, padusan bertujuan untuk membersihkan diri agar siap memasuki Ramadhan yang terkenal sebagai bulan suci.

2. Nyadran

Dirujuk dari laman resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan, nyadran adalah tradisi masyarakat Jawa menyongsong Ramadhan, terkhusus di wilayah Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur.

Istilah nyadran berasal dari bahasa Sansekerta ‘sraddha’ yang bermakna keyakinan. Tradisi ini adalah suatu bentuk kepercayaan masyarakat terhadap nenek moyang atau animisme. Ketika Islam datang, nyadran dimanfaatkan Wali Songo untuk menyebarkan ajaran.

Biasanya, nyadran digelar satu bulan sebelum Ramadhan, yakni pada bulan Syaban atau Ruwah. Menariknya, nyadran bisa jadi berbeda-beda antar daerah tergantung kearifan lokalnya. Namun, secara umum, rangkaian tradisi satu ini meliputi ziarah kubur, membersihkan lingkungan, kenduri, dan padusan.

3. Gebyuran Bustaman

Tradisi selanjutnya sebelum gebyuran bustaman yang rutin dilakukan warga Kampung Bustaman, Purwodinatan, Kota Semarang. Menurut informasi dari situs Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kota Semarang, tradisi ini sudah ada sejak tahun 1742 silam.

Dipelopori oleh Kyai Bustam, gebyuran bustaman sempat mati, tetapi kemudian dihidupkan kembali pada 2012 lalu. Pelaksanaan tradisi ini dimulai dengan mencoret-coret wajah dengan berbagai warna. Noda warna di wajah adalah perlambang dosa.

Selanjutnya, masyarakat akan saling melempar air dalam bungkus plastik untuk membersihkan atau mengguyur habis coretan-coretan di wajah. Hilangnya coretan di wajah adalah simbol pembersihan diri.

4. Dugderan

Berdasar penjelasan dari buku Islam Abangan & Kehidupannya tulisan Rizem Aizid, dugderan adalah tradisi khas Jawa Tengah untuk menyambut Ramadhan. Asal muasal nama tradisi ini bersumber dari suara bedug saat dipukul (dug) dan suara meriam (der).

Dalam sejarah, dugderan mulai muncul di tengah masyarakat pada 1881 di Semarang. Tradisi ini dilakukan dengan cara membunyikan bedug dan menembakkan meriam sebagai pertanda tibanya Ramadhan. Adapun waktu pelaksanaannya adalah seminggu sebelum Ramadhan.

Seiring berkembangnya zaman, dugderan mendapat tambahan sejumlah kegiatan lain. Sebut saja arak-arakan atau karnaval dan pentas tari japin. Kadang kala, tembakan meriam juga diganti dengan petasan atau bledur.

5. Hajad Dalem Kuthomoro

Dari wilayah Jogja, ada tradisi menyambut Ramadan dari Keraton Jogja yang digelar setiap pertengahan bulan Ruwah (Syaban). Tradisi tersebut bernama Kuthomoro dan bertujuan untuk mengirim doa kepada para leluhur Keraton Jogja.

Dilansir situs resmi Pemerintah Kabupaten Bantul, mula-mula, sultan akan mengirim ubarampe sejumlah 400 buah ke Kawedanan Pengulon di Masjid Gedhe. Lalu, para abdi dalem Kawedanan Pengulon akan mengantarkan ubarampe yang terdiri dari barang-barang berbau harum ini ke Makam Kotagede.

Di samping Makam Kotagede, sejumlah makam Kagungan Dalem lainnya juga mendapat kiriman dari keraton via pos. Total, terdapat 58 makam Kagungan Dalem yang mendapat kiriman di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di Makam Imogiri, tepat tanggal 15 Ruwah, digelar doa bersama dan tahlil. Seringnya, seluruh abdi dalem yang merawat kompleks makam raja-raja Jogja di wilayah lain turut mengikuti acara doa di Bangsal Sri Manganti. Setelah selesai, ubarampe diantarkan ke masing-masing penjaga makam untuk kemudian melakukan doa tahlil di lokasi masing-masing.

6. Megengan

Megengan adalah tradisi unik jelang Ramadan yang dilakukan orang Jawa di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Kata ‘megengan’ berasal dari bahasa Jawa yang artinya menahan. Tradisi ini adalah perlambang menahan hawa nafsu selama Ramadhan.

Megengan biasanya dilakukan pada hari terakhir bulan Syaban. Dalam prosesnya, warga masyarakat akan membawa makanan ke masjid, musala, langgar, atau rumah warga. Makanan kemudian dikumpulkan terlebih dahulu.

Acara dimulai dengan pembacaan doa dan tahlil setelah sholat isya. Lalu, diteruskan dengan pembagian makanan untuk seluruh hadirin. Tradisi ini adalah pengingat bagi masyarakat bahwasanya Ramadhan sudah tiba dan umat Islam akan berpuasa.

7. Munggahan

Tradisi ketujuh masyarakat Jawa untuk menyambut Ramadhan adalah munggahan. Dilihat dari Jurnal Urwatul Wutsqo bertajuk ‘Budaya Unik Munggahan Menjelang Bulan Ramadhan di Kabupaten Subang Jawa Barat: Studi Antropologi Al-Qur’an’ oleh Alam Tarlam dkk, munggahan adalah wujud rasa syukur sekaligus persiapan memasuki bulan suci Ramadan.

Munggahan sebagai sebuah tradisi memiliki banyak nilai positif. Sebut saja kebersamaan dan gotong royong. Mirip dengan Nyadran, beberapa ritual prosesi munggahan meliputi ziarah kubur, mandi keramas, dan makan bersama.

——–

Artikel ini telah naik di detikJogja.

(wsw/wsw)

Membagikan
Exit mobile version