Jumat, Januari 3
Jakarta

Tahukah kamu bahwa tradisi perayaan Tahun Baru sudah ada sejak masa peradaban kuno? Ada beberapa macam tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada masa peradaban kuno dalam rangka merayakan pergantian tahun baru mereka.

Menurut laman History, sedikitnya ada lima macam tradisi perayaan Tahun Baru di masa perabadan kuno yang pernah ada. Mulai dari masa perabadan Mesopotamia kuno, masa perabadan Romawi kuno, masa perabadan Mesir kuno, masa perabadan Dinasti China, hingga masa perabadan Persia kuno. Masing-masing memiliki keunikan tersendiri.

Peradaban Mesopotamia kuno, misalnya, merayakan Tahun Baru dengan festival Akitu yang berlangsung selama 12 hari. Di sisi lain, bangsa Romawi kuno memperingati pergantian tahun dengan menghormati dewa Janus, yang melambangkan awal dan akhir. Tradisi ini menjadi cikal bakal kalender modern yang kita gunakan saat ini.


Sementara itu, peradaban Mesir kuno menghubungkan perayaan Tahun Baru dengan siklus Sungai Nil dan bintang Sirius, yang dianggap sebagai tanda awal musim baru. Di Tiongkok kuno, tradisi Tahun Baru berfokus pada keberuntungan dan pengusiran roh jahat melalui festival besar yang masih berpengaruh hingga sekarang. Adapun Persia kuno merayakan Nowruz sebagai simbol kebangkitan alam dan kehidupan baru.

Berikut ini serba-serbi tentang lima macam tradisi perayaan Tahun Baru yang dilakukan oleh masyarakat pada masa peradaban kuno yang menarik untuk disimak:

1. Akitu: Tahun Baru Orang Babilonia di Mesopotamia Kuno


Ilustrasi Babilonia Kuno (Foto: Thaier Al-Sudani/Reuters)

Mengutip dari History, orang-orang Babilonia di Mesopotamia kuno akan merayakan kelahiran kembali dunia alami dengan sebuah festival selama beberapa hari yang disebut ‘Akitu’. Disebutkan bahwa ini merupakan salah satu tradisi perayaan Tahun Baru tertua.

Perayaan awal Tahun Baru ini sudah ada sejak sekitar tahun 2000 SM (sebelum Masehi), dan diyakini sangat terkait dengan agama dan mitologi. Perayaan Akitu ini diadakan setelah bulan baru pertama setelah titik balik musim semi (ekuinoks) pada akhir bulan Maret.

Selama perayaan Akitu, patung-patung dewa diarak di jalan-jalan kota, dan ritual-ritual dilaksanakan untuk melambangkan kemenangan mereka. Melalui ritual-ritual ini, orang Babilonia percaya bahwa dunia secara simbolis dibersihkan dan diciptakan kembali oleh para dewa sebagai persiapan untuk tahun baru dan kembalinya musim semi.


Salah satu aspek yang menarik dari Akitu adalah semacam ritual penghinaan yang dialami oleh raja Babilonia. Tradisi aneh ini membuat raja dibawa ke hadapan patung dewa Marduk, ditanggalkan pakaian kebesarannya dan dipaksa bersumpah bahwa ia telah memimpin kota dengan penuh kehormatan.

Seorang pendeta tinggi kemudian akan menampar raja dan menarik telinganya dengan harapan membuatnya menangis. Jika air mata raja menetes, hal itu dianggap sebagai tanda bahwa Marduk merasa puas dan secara simbolis memperpanjang kekuasaan raja. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa elemen-elemen politik ini menunjukkan bahwa Akitu digunakan oleh kerajaan sebagai alat untuk menegaskan kembali kekuasaan ilahi raja atas rakyatnya.

2. Perayaan Tahun Baru Orang Romawi Kuno untuk Janus


Ilustrasi Romawi Kuno (Foto: Getty Images/mammuth)

Romawi kuno awalnya menetapkan Tahun Baru bertepatan dengan titik balik musim semi, namun setelah bertahun-tahun mengutak-atik kalender matahari, akhirnya hari raya ini ditetapkan pada tanggal yang lebih dikenal hingga kini, yaitu 1 Januari. Diketahui bahwa, tradisi perayaan Tahun Baru Romawi kuno inilah yang menjadi cikal bakal perayaan Tahun Baru Masehi yang dirayakan sampai saat ini.

Mengutip dari History, bagi orang Romawi kuno, bulan Januari memiliki arti khusus. Namanya diambil dari dewa bermuka dua, Janus, dewa perubahan dan permulaan. Janus dipandang secara simbolis melihat ke belakang pada yang lama dan ke depan pada yang baru, dan ide ini kemudian dikaitkan dengan konsep transisi dari satu tahun ke tahun berikutnya.

Orang Romawi merayakan 1 Januari dengan memberikan persembahan kepada Janus dengan harapan mendapatkan keberuntungan di tahun yang baru. Hari ini dianggap sebagai awal dari dua belas bulan ke depan, dan merupakan hal yang umum bagi para sahabat dan tetangga untuk memulai tahun yang positif dengan saling bertukar ucapan selamat dan hadiah buah ara dan madu.


Menurut penyair Ovid, sebagian besar orang Romawi juga memilih untuk bekerja setidaknya pada Hari Tahun Baru, karena kemalasan dianggap sebagai pertanda buruk sepanjang tahun.

3. Wepet Renpet: Festival Tahun Baru Orang Mesir Kuno


Ilustrasi Mesir Kuno (Foto: BBC Magazine)

Seperti dilansir laman History, budaya Mesir kuno terkait erat dengan Sungai Nil, dan tampaknya Tahun Baru mereka bertepatan dengan banjir tahunan. Menurut penulis Romawi, Censorinus, Tahun Baru Mesir diramalkan ketika Sirius, yakni bintang paling terang di langit malam, pertama kali terlihat setelah absen selama 70 hari.

Lebih dikenal sebagai ‘heliacal rising’, fenomena ini biasanya terjadi pada pertengahan bulan Juli, tepat sebelum banjir tahunan Sungai Nil. Masyarakat Mesir merayakan awal yang baru ini dengan sebuah festival yang dikenal dengan nama ‘Wepet Renpet’, yang berarti ‘pembukaan tahun’. Tahun Baru dipandang sebagai waktu kelahiran kembali dan peremajaan, dan dihormati dengan pesta dan ritual keagamaan khusus.

Orang Mesir dulu juga menggunakan momen tahun baru ini sebagai alasan untuk berpesta hingga mabuk-mabukan. Penemuan terbaru di Kuil Mut menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Hatshepsut, bulan pertama setiap tahun menjadi tuan rumah ‘Festival Mabuk-mabukan’.


Pesta besar-besaran ini terkait dengan mitos Sekhmet, dewi perang yang berencana membunuh seluruh umat manusia hingga dewa matahari Ra menipunya untuk meminum minuman keras hingga pingsan. Untuk menghormati keselamatan umat manusia, orang Mesir merayakannya dengan musik hingga mabuk-mabukan.

4. Tahun Baru Imlek: Sudah Ada Sejak Masa Dinasti Shang


Ilustrasi Imlek (Foto: Thinkstock)

Imlek merupakan salah satu tradisi Tahun Baru tertua yang masih dirayakan hingga saat ini. Mengutip dari History, perayaan Tahun Baru China ini diyakini berasal lebih dari 3.000 tahun yang lalu pada masa Dinasti Shang. Perayaan ini bermula sebagai cara untuk merayakan awal musim tanam musim semi, namun kemudian menjadi sarat dengan mitos dan legenda.

Menurut salah satu kisah populer, pernah ada makhluk haus darah yang disebut ‘Nian’ yang memangsa desa-desa setiap Tahun Baru. Untuk menakut-nakuti makhluk buas yang kelaparan itu, para penduduk desa mendekorasi rumah mereka dengan hiasan berwarna merah, membakar bambu, dan mengeluarkan suara-suara nyaring. Tipu muslihat ini berhasil, dan warna-warna cerah serta lampu-lampu yang diasosiasikan untuk menakut-nakuti Nian akhirnya menjadi bagian dari perayaan tersebut.

Perayaan ini biasanya berlangsung selama 15 hari dan cenderung berpusat pada rumah dan keluarga. Orang-orang membersihkan rumah mereka untuk membuang sial, dan beberapa orang membayar hutang lama sebagai cara untuk menyelesaikan urusan tahun sebelumnya. Untuk mendorong awal tahun yang baik, mereka juga menghias pintu rumah mereka dengan gulungan kertas dan berkumpul dengan kerabat untuk pesta.


Karena Tahun Baru Imlek masih didasarkan pada kalender lunar, maka hari raya ini biasanya jatuh pada akhir Januari atau awal Februari dalam kalender Masehi. Setiap tahun diasosiasikan dengan salah satu dari 12 hewan shio: tikus, lembu, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam jantan, anjing, dan babi.

5. Nowruz: Festival Perayaan Tahun Baru Orang Persia Kuno


Ilustrasi Nawruz (Foto: REUTERS/ALAA AL-MARJANI)

Nowruz merupakan festival yang menjadi salah satu tradisi masyarakat Persia kuno. Menurut laman History, meskipun masih dirayakan di Iran dan bagian lain di Timur Tengah dan Asia hingga kini, akar dari Nowruz (atau “Hari Baru”) sudah ada sejak zaman kuno.

Tradisi Nowruz sering juga disebut sebagai “Tahun Baru Persia.” Festival musim semi selama 13 hari ini jatuh pada atau sekitar titik balik musim semi di bulan Maret dan diyakini berasal dari zaman modern Iran sebagai bagian dari agama Zoroaster.

Catatan resmi tentang Nowruz sendiri tidak muncul hingga abad ke-2. Meski begitu sebagian besar sejarawan mempercayai bahwa perayaan Nowruz ini sudah ada sejak abad ke-6 SM dan pada masa Kekaisaran Achaemenid (Kekaisaran Iran pada masa kekuasaan Dinasti Akhemeniyah).


Tidak seperti banyak festival Persia kuno lainnya, Nowruz bertahan sebagai hari libur penting bahkan setelah penaklukan Iran oleh Alexander Agung pada tahun 333 SM. Setelah itu, festival Nowruz juga amsih bertahan pada masa kebangkitan kekuasaan Islam di abad ke-7 Masehi.

Halaman 2 dari 6

(wia/imk)


Membagikan
Exit mobile version