Rabu, Oktober 2


Jakarta

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan September 2024 terjadi deflasi sebesar 0,12%. Itu merupakan deflasi berturut-turut dalam 5 bulan terakhir.

Pada september 2024 terjadi deflasi 0,12 persen atau terjadi penurunan indeks harga konsumen dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada september 2024.

Deflasi September adalah yang kelima, setelah sebelumnya deflasi terjadi mulai dari Mei hingga Agustus.


“Deflasi pada September 2024 ini terlihat lebih dalam dibandingkan agustus 2024 dan ini merupakan deflasi kelima pada tahun 2024 secara bulanan,” terang Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti di Jakarta, Selasa (1/10/2024)

Amalia menerangkan deflasi beruntun pernah terjadi pada tahun 1999 atau setelah krisis. Saat itu, terjadi deflasi selama 7 bulan beruntun.

“Pada tahun 1999 setelah krisis finansial Asia, Indonesia pernah mengalami deflasi 7 bulan berturut-turut selama bulan Maret 1999 sampai September 1999. Karena akibat dari penurunan harga beberapa barang pada saat itu, setelah diterpa inflasi yang tinggi,” terangnya di Jakarta, Selasa (1/10/2024) kemarin.

Deflasi beruntun juga pernah terjadi pada Desember 2008- Januari 2009. Hal itu dipicu oleh penurunan harga minyak dunia.

“Periode deflasi lainnya juga pernah terjadi 2008 sampai 2009 itu bulan Desember 2008 sampai Januari 2009 ini karena turunnya harga minyak dunia,” katanya.

Selanjutnya, deflasi beruntun terjadi pada tahun 2020 atau saat pandemi COVID-19. Saat itu, deflasi berlangsung dari Juli sampai September 2020.

“Dan di tahun 2020 pernah terjadi deflasi 3 bulan berturut-turut sejak Juli sampai dengan September 2020,” ungkapnya.

Sementara deflasi 5 bulan beruntun kali ini menjadi deflasi terpanjang, setelah deflasi beruntun yang terjadi usai krisis yakni 7 bulan beruntun.

Menurut Amalia perlu studi lebih jauh untuk melihat kaitan antara deflasi dan daya beli masyarakat. “Untuk kita menghubungkan dengan apakah ada penurunan daya beli masyarakat, kita harus melakukan studi yang lebih dalam,” kata Amalia.

Amalia juga menjelaskan BPS mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) berdasarkan harga yang diterima oleh konsumen. Dia bilang, IHK ini dipengaruhi oleh mekanisme pembentukan harga di pasar.

“Baik dari sisi, terutama dari sisi suplai atau sisi penawaran sehingga harga yang diterima oleh konsumen itu relatif turun karena suplainya meningkat ataupun limpahan pasokan karena panen, ataupun karena memang turunnya ongkos produksi,” terang Amalia.

Dia menambahkan untuk melihat kondisi daya beli perlu studi lebih lanjut. Dia bilang, daya beli tidak hanya dilihat dari sisi inflasi.

“Tentunya untuk mengambil kesimpulan apakah ini adalah menunjukan indikasi daya beli masyarakat, ini harus dilakukan studi lebih lanjut karena yang namanya penurunan daya beli itu tidak bisa hanya dimonitor atau diambil kesimpulan hanya karena angka inflasi. Kita perlu lebih dalami lagi nanti,” terangnya.

Saksikan Live DetikPagi:

(acd/hns)

Membagikan
Exit mobile version