Jakarta –
Tahun baru Imlek adalah perayaan penting bagi masyarakat etnis China di seluruh dunia. Banyak hal yang sudah menjadi tradisi, mulai dari menyalakan lampion, memberi angpao, hingga menempel kaligrafi.
Di balik semua itu, ada legenda mengenai asal-usul perayaan tahun baru Imlek yang selalu menarik didengar. Legenda ini diceritakan secara turun temurun hingga kini.
Legenda Imlek di Cina
Dikutip dari situs China Highlight dan Chinese Language Institute (CLI), berikut ini 4 legenda perayaan Imlek yang berasal dari China:
1. Kisah Monster Nian dalam Asal-usul Imlek
Tahun Baru Imlek dalam bahasa China disebut Guo Nian (过年) yang juga memiliki arti ‘mengalahkan Nian’. Dikisahkan bahwa Nian adalah monster berkepala panjang, bertanduk tajam, dan tinggal jauh di dalam laut.
Monster Nian hanya akan muncul setiap malam tahun baru untuk memakan manusia dan ternak di desa-desa terdekat. Hal ini membuat warga desa takut dan selalu mengungsi saat tahun baru.
Suatu hari, datanglah seorang pria tua berambut putih di desa tersebut pada malam tahun baru. Dia tidak takut dan berusaha menakut-nakuti monster Nian dengan menempelkan kertas merah di pintu, membakar bambu, hingga mengeluarkan suara mirip dengan petasan.
Saat penduduk desa kembali dari persembunyian, mereka terkejut desa mereka tidak hancur. Mereka pun mempraktikkan yang dilakukan kakek tua itu hingga sekarang.
2. Legenda Lampion Merah dan Desa yang Dibakar
Legenda lain mengisahkan tentang awal mula festival lampion. Kisahnya terjadi pada masa Kaisar Giok. Konon, burung bangau kesayangan raja dibunuh oleh beberapa penduduk desa, hingga membuatnya marah dan ingin membakar desa pada hari ke-15 di bulan pertama.
Mendengar rencana sang ayah, putri Kaisar Giok merasa kasihan pada penduduk desa. Dia lalu memperingatkan warga akan rencana raja membakar desa..
Penduduk desa memiliki ide untuk mengelabui Kaisar Giok dengan cara menggantungkan lentera atau lampion merah, dan menyalakan petasan. Hal ini membuat desa tampak dari kejauhan seperti terbakar, sehingga kaisar tertipu.
Namun ada juga kisah yang lebih logis, bahwa perayaan festival lampion ini memang diciptakan pada masa Kaisar Ming dari Han (58-75 M). Saat itu agama Buddha mulai populer di China dan kebiasaan pada biksu mulai ditirukan, salah satunya adalah menyalakan lentera pada hari ke-15 di bulan pertama.
Kaisar Ming lalu memerintahkan agar istana dan setiap rumah menyalakan lampion. Kebiasaan ini kemudian menyebar hingga ke daerah lain dan terus dilakukan hingga sekarang.
3. Asal-usul Berbagi Amplop Merah
Sudah menjadi tradisi Imlek, bahwa orang dewasa memberikan angpao atau amplop merah berisi uang kepada anak-anak atau adik-adik yang belum menikah. Amplop merah ini disebut yasui qian. Sui adalah setan yang menakut-nakuti anak-anak ketika mereka sedang tidur.
Dikisahkan bahwa anak-anak yang tersentuh oleh setan Sui itu akan menjadi sangat ketakutan hingga menangis dengan suara keras, mengalami demam yang mengerikan, dan bahkan menjadi tidak stabil secara mental.
Cara mencegah agar Sui tidak mengganggu anak-anak adalah dengan menyalakan lilin dan begadang semalaman. Agar anak-anak tetap terjaga, orang tua mereka memberikan delapan koin.
Anak-anak lalu membungkus koin-koin tersebut dengan kertas merah, lalu membuka bungkus, membungkusnya kembali, dan melakukannya berulang-ulang sampai tertidur. Orang tua mereka lalu menyimpan bungkusan koin itu di bawah bantalnya.
Sui kemudian datang dan ingin menyentuh anak-anak. Tapi saat Sui mendekat, delapan koin itu memancarkan cahaya yang kuat dan membuat setan itu takut. Sejak saat itu amplop merah selalu dibagikan kepada anak-anak agar tetap aman dan membawa keberuntungan.
4. Tradisi Menempel Kaligrafi
Menempelkan kaligrafi di pintu atau dinding juga menjadi tradisi Imlek. Ini berawal sekitar 1.000 tahun yang lalu ketika orang-orang menggantungkan taofu (桃符 atau jimat yang ditulis di atas kayu persik) di pintu.
Konon terdapat dunia hantu yang pintunya dijaga oleh Shentu dan Yulei. Dengan menggantungkan sepotong kayu persik dengan tulisan nama kedua penjaga itu, maka dapat mengusir roh-roh jahat.
Pada masa Dinasti Song (960-1279), masyarakat mulai menuliskan dua baris kata pada kayu persik sebagai pengganti nama kedua penjaga. Kemudian, kayu persik digantikan dengan kertas merah, yang melambangkan keberuntungan dan kebahagiaan.
Sejak saat itu, menempelkan kaligrafi telah menjadi kebiasaan untuk menyambut tahun baru dan mengekspresikan harapan terbaik. Tahun baru kini hampir tak pernah absen dirasakan seluruh masyarakat dunia yang merayakan, sambil memanjatkan doa dan harapan untuk tahun yang akan datang.
(bai/row)