Jakarta –
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah gunung api terbanyak di dunia. Berdasarkan data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (PVMBG ESDM), ada 127 gunung api aktif di Indonesia.
Gunung api di Indonesia dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan sejarah letusannya. Simak ulasan berikut ini.
Dikutip dari laman Indonesiabaik.id, ada tiga tipe gunung api di Indonesia berdasarkan catatan letusannya, yaitu gunung api tipe A, tipe B, dan tipe C. Apa perbedaannya?
1. Tipe A
Memiliki catatan sejarah letusan sejak tahun 1600. Terdiri dari 76 gunung api dengan rincian:
- Sumatera: 12
- Jawa: 19
- Bali-Nusa Tenggara: 22
- Maluku: 12
- Sulawesi: 11
2. Tipe B
Memiliki catatan sejarah letusan sebelum tahun 1600. Ada 30 gunung api dengan lokasi:
- Sumatera: 12
- Jawa: 10
- Bali-Nusa Tenggara: 2
- Maluku: 4
- Sulawesi: 2
3. Tipe C
Tidak memiliki catatan sejarah letusan, tetapi masih memperlihatkan jejak aktivitas vulkanik, seperti solfatara atau fumarole. Sebanyak 21 gunung api tipe C di Indonesia terletak di:
- Sumatera: 6
- Jawa: 5
- Bali-Nusa Tenggara: 5
- Sulawesi: 5
4 Status Gunung Berapi
Status gunung berapi terbagi ke dalam beberapa tingkatan, yaitu Level I, Level II, Level III, dan Level IV. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 15 Tahun 2011, berikut penjelasan setiap level status aktivitas gunung berapi.
1. Level I (Normal)
Status aktif normal pada gunung api artinya tidak ada perubahan aktivitas secara visual, seismik, dan kejadian vulkanik. Hal ini menandakan tidak ada letusan dalam kurun waktu tertentu.
Pada status ini, berdasarkan pengamatan dari hasil visual, kegempaan dan gejala vulkanik lainnya, kegiatan gunung api tersebut tidak memperlihatkan adanya kelainan. Pada status gunung berapi Level I, masyarakat masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari.
2. Level II (Waspada)
Di level ini, hasil pengamatan visual dan instrumental mulai memperlihatkan peningkatan aktivitas. Pada beberapa gunung api, dapat terjadi erupsi, tetapi hanya menimbulkan ancaman bahaya di sekitar kawah.
Pada status ini juga mulai terlihat perubahan visual di sekitar kawah gunung berapi. Gangguan magmatik, tektonik, atau hidrotermal mulai terjadi, tetapi diperkirakan tidak terjadi erupsi dalam jangka waktu tertentu.
Pada status Level II, masyarakat masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari, tetapi perlu meningkatkan kewaspadaan. Sementara itu, dalam beberapa situasi tertentu, masyarakat akan disarankan untuk tidak melakukan aktivitas di sekitar kawah.
3. Level III (Siaga)
Pada Level III, gunung berapi mengalami peningkatan aktivitas yang semakin nyata. Terlihat jelas perubahan baik secara visual maupun perubahan aktivitas kawah.
Kondisi itu biasanya akan diikuti dengan letusan utama. Artinya, jika peningkatan kegiatan gunung api terus berlanjut, kemungkinan erupsi besar mungkin terjadi dalam kurun dua pekan.
Ancaman bahaya erupsi bisa meluas, tetapi tidak mengancam pemukiman penduduk. Masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan dengan tidak melakukan aktivitas di sekitar lembah sungai yang berhulu di daerah puncak.
Selain itu, masyarakat diminta mulai mempersiapkan diri untuk mengungsi sambil menunggu perintah dari pemerintah daerah sesuai sesuai rekomendasi teknis Kementerian ESDM.
4. Level IV (Awas)
Level IV atau Awas adalah status gunung berapi yang paling memungkinkan terjadinya erupsi. Artinya, ada peningkatan aktivitas yang semakin nyata atau gunung api mengalami erupsi.
Status Awas merujuk pada letusan utama yang diikuti dengan letusan awal, kemudian semburan abu dan uap, baru erupsi besar. Dalam kondisi ini, kemungkinan erupsi besar akan berlangsung dalam kurun 24 jam.
Ancaman bahaya erupsi bisa meluas dan mengancam pemukiman penduduk.
Masyarakat di sekitar wilayah gunung berapi tersebut tidak boleh beraktivitas dan harus segera mengungsi berdasarkan perintah dari pemerintah daerah setempat sesuai dengan rekomendasi teknis Kementerian ESDM.
(kny/imk)