Rabu, November 13


Tangerang

Harga tiket pesawat di Indonesia yang mahal kerap dikeluhkan berbagai pihak. Bahkan, tiket pesawat rute domestik disebut lebih mahal dibanding tiket pesawat rute internasional.

Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Irfan Setiaputra buka-bukaan sejumlah penyebab mahalnya harga tiket pesawat di Indonesia.

Berikut 3 Penyebab Harga Tiket Pesawat Mahal:

1. Harga Avtur

Irfan menjelaskan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi harga tiket pesawat, salah satunya harga avtur. Komponen ini sudah diperhitungkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan (PM) yang mengatur tarif batas atas (TBA).


Dia mengatakan, aturan TBA belum berubah sejak lima tahun terakhir. Padahal, sejumlah komponen dalam perhitungan di aturan tersebut sudah meningkat tinggi, misalnya harga avtur.

“Nah itu nggak pernah berubah sampai 2024. Jadi saya pakai formula masih 2019. Di dalamnya sudah ada harga avtur, asumsi berapa ton avtur dipakai dan segala macam,” kata Irfan di Gedung Manajemen Garuda, Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Senin (11/11/2024).

Menurutnya, dengan naiknya biaya komponen tersebut, maka harga tiket yang dijual ke konsumen mau tidak mau harus naik. Namun, karena tidak ada perubahan selama lima tahun terakhir inilah, Irfan menyebut Garuda Indonesia mau tak mau terus menggunakan tarif batas paling atas yang ditetapkan pemerintah.

“Akibat perubahan-perubahan kondisi pasar, baik itu harga avtur maupun exchange rate, karena basis kita US dollar banyaknya sekarang sudah nggak untung lagi sebenarnya. Makanya kita minta dinaikin, eh lu orang ribut minta diturunin. Oke nggak masalah,” terangnya.

2. Pajak Penambahan Nilai (PPN)

Lebih lanjut, Irfan mengatakan harga tiket pesawat di Indonesia mahal imbas pengenaan berbagai jenis pajak, khususnya Pajak Penambahan Nilai (PPN) yang hanya dikenakan untuk rute domestik.

“Avtur yang kita beli untuk penerbangan domestik itu kena pajak. Avtur kita terbang ke Singapura, nggak kena pajak. Tiket kita jual ke Balikpapan, kena pajak. Kita jual ke Shanghai, nggak kena pajak,” kata Irfan.

Ia mengingatkan bagaimana harga tiket pesawat yang disebut-sebut sudah cukup mahal akan semakin tinggi karena PPN bakal naik dari 11% ke 12%.

“Kita tidak pernah keluar dari rambu-rambu harga tiket yang diatur oleh pemerintah. Dari 2019, nggak pernah naik, tapi pajak masuk, kena pajak,” terangnya.

3. Tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U)

Selain harga avtur dan PPN, faktor lain yang menyebabkan tingginya harga tiket pesawat di Indonesia karena pengenaan tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U). Irfan menyebut tarif PJP2U ini sudah naik hingga 35%.

“Nah setelah TBA itu ada pajak, habis itu ada PJP2U yang ini tahun 2023 naik 35%, diam-diam, nggak tahu kan? Tiba-tiba harga tiket gue naik, kan ya harus naik dong, marah lu semua sama gue ya kan,” ucapnya.

“Bayarnya Rp 168.000 kalau ke domestik, ya terus saya bilang pindahkah ke Terminal 2 (Soekarno-Hatta), nggak boleh, yang Rp 120.000. Kalau di Halim Rp 70.000,” tambahnya.

Pada akhirnya, inilah yang membuat Garuda Indonesia tetap mempertahankan harga tiket pesawat di TBA demi keuntungan perusahaan.

“Jual tiket itu marginnya single digit, oleh sebab itu ketika permintaan-permintaan harga tiket terus menerus turun buat kita nggak ada pilihan lain kecuali bertahan, dan memang nggak ada pilihan lain,” kata Irfan.

“Jadi ini yang kita lakukan sebagai suatu perusahaan untuk memastikan tanggung jawab kita kepada para investor dan publik bahwa perusahaan dijaga dan dipastikan dari waktu ke waktu akan meningkatkan profitability-nya,” tambahnya.

(acd/acd)

Membagikan
Exit mobile version