Minggu, September 29


Jakarta

Ondel-ondel seolah memiliki dua wajah berbeda di Jakarta. Menjadi ikon budaya, tetapi juga berada di jalanan sebagai alat mengamen atau mengemis.

Bukan fenomena baru ondel-ondel diajak mengamen di jalanan. Pro dan kontra pun mengiringi, tak terkecuali dari para pengrajin ondel-ondel itu sendiri.

detikTravel berkesempatan untuk mengunjungi salah satu rumah produksi ondel-ondel di Setu Babakan, yakni Betawi Online Gallery. Selain melihat proses pembuatannya, tim detikTravel juga bertanya harapan para perajin terkait kebudayaan ondel-ondel menjelang hari ulang tahun Jakarta 2024.


Wawang Sunarya, yang merupakan seorang perajin topeng ondel-ondel, tidak bisa menerima ondel-ondel dijadikan alat mengamen. Ia prihatin melihat budaya ondel-ondel yang dinodai dengan praktik mengamen.

Menurutnya, ondel-ondel memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi, dan tidak sepantasnya direndahkan dengan menjadi alat mencari uang di jalanan.

“Saya harap ondel-ondel jangan dipake buat ngamen ya, saya paling ngga suka tuh kalau liat di pinggir jalan ada ngamen pake ondel-ondel. Semoga bisa lebih bijak lagi dipakenya,” kata Wawang saat ditemui detikTravel pada Rabu (19/6/2024)

Senada, Mohamad Ardiansyah, pelaku bisnis oleh-oleh Jakarta, juga kurang sepakat dengan ondel-ondel yang digunakan untuk mengamen. Tetapi, bisa jadi para pangamen ondel-ondel itu tidak tahu lagi cara untuk mencari nafkah selain mengamen dengan ondel-ondel karena minimnya lapangan pekerjaan di bidang seni budaya Betawi.

“Kalau dari saya pribadi ya kurang bagus ya, karena kita kan budaya ya harus kita junjung tinggi karena budaya kan historis kita kalau dipake buat ngamen kan kayanya kurang bagus,” kata Ardi.

“Cuma balik lagi ke kita juga kenapa mereka ngamen, karena sekarang udah jarang acara pake ondel-ondel. Biar mereka tetap eksis mereka harus mencari uang dong, makanya mereka ngamen” dia menambahkan.

Ardi justru mengatakan munculnya ondel-ondel di jalanan menjadi indikator budaya Betawi mulai luntur. Dia menilai masyarakat tidak memiliki pengetahuan dan filosofi tentang ondel-ondel dan budaya Betawi.

Dia yakin andai masyarakat mencintai budaya Betawi, pelaku kesenian ondel-ondel akan tetap mendapatkan pekerjaan tetap untuk mengisi acara-acara tersebut sehingga tidak lagi mengamen.

“Karena kita kurang cinta budaya kita sih kalau menurut saya ya. Kalau misal tiap Sabtu Minggu mereka ada panggilan sunat, nikahan, gak bakal mereka mau ngamen juga,” ujar Ardi.

“Karena, bawa ondel-ondel tuh berat banget, apalagi dibawa ke jalan itu effortnya luar biasa. Mending mereka sekali tampil kan paling 15 menit sejam udah beres dan dapet uangnya lebih banyak dari ngamen,” dia menambahkan.

Fenomena ngamen ondel-ondel memang menghadirkan dilema yang kompleks. Di satu sisi, kita ingin menjaga kelestarian budaya Betawi dan menghormati nilai-nilainya. Di sisi lain, kita juga harus memahami situasi ekonomi yang mendorong para pengamen untuk melakukan hal tersebut.

Dibutuhkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan untuk menyelesaikan fenomena tersebut. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap budaya Betawi. Pemerintah juga perlu mengambil peran aktif dalam pelestarian budaya Betawi salah satunya dengan dan memperketat aturan-aturan yang ada.

Sebenarnya, pengamen ondel-ondel telah melanggar beberapa peraturan, seperti Pergub No. 11 Tahun 2017, Perda No. 4 Tahun 2015, dan Perda No. 8 Tahun 2007. Sanksi yang diberikan kepada mereka yang melanggarnya mulai dari 60 hari penjara dan denda sebesar 20 juta rupiah.

Pada beberapa kesempatan, pengamen ondel-ondel harus berhadapan dengan Satpoll PP. Ondel-ondel disita, namun tidak ada solusi bagi pembawanya.

(fem/fem)

Membagikan
Exit mobile version